RADARMEDAN.COM, SIMALUNGUN - Memperjuangkan hak masyarakt Sihaporas, Simalungun Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat akan adakan aksi damai di Polres, DPRD dan Kantor Bupati Simalungun (07/11).
Sihaporas menggugat, demikian selebaran yang diperoleh wartawan media ini, aksi ini buntut panjang ditahannya beberapa aktifis dan warga Sihaporas yang memperjuangkan haknya.
"Masyarakat Adat Sihaporas dan Dolok Parmonangan sudah lebih dulu ada jauh sebelum NKRI terbentuk, sudah tinggal dan mengelola wilayah adatnya. Masyarakat adat Sihaporas dan Dolok Parmonangan mengelola wilayah adat titipan leluhur dengan nilai-nilai kearfian lokal yang mereka pegang teguh sampai hari ini" kata Agus Simamora, Aman Tano Batak
Aliansi mencontohkan perlakuan kriminalisasi. Pada 24 September lalu, dua orang masyarakat adat Sihaporas yang sedang memperjuangkan wilayah adatnya ditahan oleh Polres Simalungun diduga tanpa prosedur yang benar. Thomson dan Jonny ditangkap saat memberi keterangan sebagai korban dan saksi, pada pemeriksaan kali kedua, sepekan setelah terjadi bentrok di lokasi Buntu Pangaturan, Sihaporas, 16 September 2019.
"Mereka dirangkap pascabentrok antara masyarakat adat Sihaporas dengan karyawan PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang mengakibatkan seorang anak berusia 3 tahun, Mario Teguh Ambarita, dan seorang dewasa Thomson Ambarita menjadi korban dari dugaan tindakan kekerasaan yang dilakukan oleh Humas dan Security PT TPL sektor Aek Nauli," tulis Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat, diwakili Alboin Samosir Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Katolik Indonesia (PMKRI Cabang Siantar) Alboin Samosir, dan aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak Agus Simamora.
Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat terdiri atas 10 elemen masyarakat yakni, AMAN Tano Batak, Masyarakat Adat Sihaporas (Lamtoras), Masyarakat Adat Keturunan Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Katolik Indonesia (PMKRI Cabang Siantar), Gerakan Mahasiswa Katolik (GMKI) Cabang Siantar, Gerakan Mahasiswa Nasional (GMNI) Cabang Siantar, Saling (Sahabat Lingkungan), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Satuan Siswa Pelajar dan Mahasiswa (SAPMA) Pemuda Pancasila Siantar, Gampar, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut.
Menurut Aliansi, Thomson Ambarita dan Jhony Ambarita, masing-masing selaku Bendahara Umum dan Sekretaris Umum Lembaga Adat Lamtoras Sihaporas, yang berstatus sebagai saksi atas laporan masyarakat adat Sihaporas akibat tindak kekerasaan yang dilakukan Humas dan security PT TPL, pada 16 September 2019.
“Hal ini jelas merupakan sebuah diskriminasi hukum dan ketidakadilan terhadap masyarakat adat oleh para penegak hukum tersebut,” tulis pengurus.
Untuk mengkritik tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang adalah pejuang tanah/hutan adat, Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat Sumut akan unjuk rasa menyampaikan aspirasi kepada Kepala Polres Simalungun AKBP Heribertus Ompusunggu, dan Bupati Simalungun JR Saragih di Pematang Raya, Kamis (7/11/2019) siang.
Selain kriminalisasi terhadap pengurus inti Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) di Kecamatan Pematang Sidamanik, di Kabupaten Simalungun juga terdapat ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat adat Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolokpanribuan, Tigadolok.
Dua orang pejuang masyarakat adat Dolok Parmonangan dituduh menduduki konsesi PT Toba Pulp Lestari, karena mereka bertani di atas tanah leluhurnya. “Hal tersebut selalu saja berulang-ulang terjadi terhadap masyarakat adat yang berjuang untuk kedaulatan wilayah adatnya,” tulis pernyataan Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat.
Terkait penahanan Thomson Ambarita dan Jonny Ambarita, pengurus Lamtoras telah mengaku kepada bebrapa lembaga di Jakarta, September hingga Oktober lalu. Mereka mendatangi, Komnas Hak Asasi Manusia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Presiden melalui Kantor Staf Kepresidenan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI-Katolik) dan Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI-Kristen) serta PMKRI dan GMKI.
Selanjutnya, Kantor Staf Presiden dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengirim surat kepada Kapolda Sumatera Utara. Kedua lembaga negara tersebut meminta perhatian kepolisian bertindak adil agar tidak muncul persepsi tebang pilih dalam penanganan kasus insiden bentrok masyarakat adat Sihaporas kontra pekerja PT Toba Pulp Lestari, bulan lalu, tepatnya 16 September 2019.
Berdasarkan salinan surat yang diterima wartawan Jumat (18/10/2019), surat Kantor Staf Presiden bernomor B-78/KSP/D.05/10/2019 tertanggal 16 Oktober 2019 ditandatangani Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodharwardani.
“KSP merekomendasikan, agar Kepolisian Daerah Sumatera Utara memastikan penegakan hukum secara profesional, agar tidak ada persepsi tebang pilih atau berpihak kepada salah satu pihak; dan menciptakan suasana kondusif dengan memfasilitasi penyelesaian secara musyawarah, bukan hanya pendekatan penegakan hukum semata,” demikian bunyi surat Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodharwardani.
Adapun surat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), nomor: R- 295/4.1.PPP/LPSK/1 0/2019 tentanggal 3 Oktober 2019. Surat juga ditujukan kepada Kapolda Sumatera Utara dengan tembusan kepada para pemohon.
“Informasi yang disampaikan Lamtoras, bahwa Sdr. Thomson adalah korban penganiayaan dari peristiwa 16 September tersebut, sementara Sdr. Jonny Ambarita adalah pihak yang melerai perkelahian yang terjadi. Pihak warga khawatir bahwa proses hukum yang berlangsung hanya terfokus pada laporan yang disampaikan oleh pihak PT. TPL, namun tidak menyentuh kepada terlapor Sdr. Bahara Sibuea yang telah menganiaya dan pemicu keributan,” demikian bunyi surat yang ditandatangani Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu.
Aliansi Sampaikan Enam Butir Aspirasi
Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui keberadaan masyarakat adat serta wilayah adatnya yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 18 B dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35 Tahun 2012 yang menyatakan Hutan Adat Bukan Lagi Hutan Negara. Namun sampai saat ini Negara belum hadir untuk menjamin dan melindungi hak-hak masuyarakat adat sebagi pemilik sah dari Republik ini.
Masyarakat Adat Sihaporas dan Dolok Parmonangan sudah lebih dulu ada jauh sebelum NKRI terbentuk, sudah tinggal dan mengelola wilayah adatnya. Masyarakat adat Sihaporas dan Dolok Parmonangan mengelola wilayah adat titipan leluhur dengan nilai-nilai kearfian lokal yang mereka pegang teguh sampai hari ini.
Namun sejak adanya klaim sepihak Hutan Negara di atas wilayah adatnya, masyarakat adat Sihaporas dan Dolok Parmonangan tidak bisa lagi mengakses hak atas tanah dan wilayah adatnya, belum lagi Izin yang diberikan kepada PT Toba Pulp Lestari sehingga mengakibatkan wilayah adat terbaik milik Masyarakat Adat beralih fungsi.
Makam leluhur dan lahan pertanian luluh lantah akibat aktivitas masif perusahaan tersebut. Hutan adat yang menjadi sumber untuk keperluaan ritual adat, obat-obatan dan ekonomi turut hancur.
Belum lagi daerah aliran sungai dan mata air yang menjadi sumber penyangga kehidupan, keperluaan ritual dan menyimpan kekayaan potensial yaitu ikan endemik yang kini semakin langka turut menjadi korban pencemaraan akibat aktivitas pembuangan limbah sehingga membuat kondisi masyarakat adat Sihaporas dan Dolok Parmonangan sulit untuk mendapatkan ketersediaan air bersih.
Oleh karena itu Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat menyampaikan enam butir aspirasi.
Pertama, mendesak Polres Simalungun untuk segera membebaskan dua pejuang masyarakat adat Sihaporas saudara Thomson Ambarita dan Jhony Ambarita.
Kedua, maminta aparat Hukum di Kabupaten Simalungun untuk menghentikan kriminalisasi terhadap masyararakat adat Dolok Parmonangan (Sorbatua Siallagan dan Sudung Siallagan) yang memperjuangakan hak dan kedaulatan atas tanah adatnya.
Ketiga, pemerintah Kabupaten Simalungun untuk segera menerbitkan Perda atau SK Bupati tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakata adat serta wilayah adat di Simalungun.
Keempat, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk Segera mencabut izin konsesi PT Toba Pulp Lestari dari wilayah adat Sihaporas dan Dolok Parmonangan.
Kelima, mendesak Polres Simalungun untuk bertindak objektif dan proporsional.
Keenam, mendesak Polres Simalungun untu segera merespon laporan masyarakat Sihaporas atas tindak kekerasaan terhadap korban dari masyarakat Sihaporas yaitu, Mario Ambarita dan Thompson Ambarita yang dilakukan oleh Humas PT. Toba Pulp Lestari sektor Aek Nauli, Bahara Sibuea. (*) .(Jhon Vander/Simalungun/RM)/PE/red
TAG : simalungun,sekitar-kita,komunitas